Kamis, 20 Agustus 2015
PENGERTIAN WAKAF
PENGERTIAN WAKAF
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab
“Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar
(infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam.
Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang
lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur:
9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf
diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan
menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan
dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian
wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang
ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai
menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan
manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu
al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta
wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan
artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala
perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset
hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah
menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara
sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187).
Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau
tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan
menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain)
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk
diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376).
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi
bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta
dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan
bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat
yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih.
Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41
tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat
disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta
yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran
syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU
no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum.
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam
berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan
(al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi).
Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Syarat-Syarat Wakaf
1. Syarat-syarat orang yang berwakaf
(al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini
mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan
harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang
berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak
secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan
orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf) Harta
yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi
beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan
itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah
diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul),
maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan
itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu
mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau
disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf
(al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada
dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan).
Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu,
apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak
boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak
ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir,
miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu
ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki
harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang
memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba
sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan
dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu
mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan
Islam saja.
4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan
dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu
mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah
wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat
direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada
syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak
diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat
terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah.
Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah
kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf
secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
Sumber : Badan Wakaf Indonesia
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar